Harus Kemanakah Saya?

Riski Budi Pratiwi
3 min readFeb 7, 2021

--

Photo By Eutah Mizushima via Unsplash.com

Sejauh kehidupan saya, saya pernah menjadi orang yang begitu relijius dan menggantungkan segala sesuatu pada Yang Maha Kuasa. Dengan tubuh yang sama pada waktu berbeda, saya juga pernah menjadi orang yang begitu percaya betapa tidak adilnya Yang Maha Kuasa, hingga tidak percaya atas entitasNya.

Dahulu, saya pernah merasa bahwa sekecil “arah semut berjalan”-pun telah diatur sedemikian rupa oleh Yang Maha Esa. Dilain waktu, saya pernah merasa bahwa manusia memiliki kuasa atas hidupnya dan alam sebagai kuasa yang bertindak secara alamiah, sedangkan Yang Maha Esa hanyalah buatan manusia. Ciptaan manusia-manusia pasrah yang tidak mengetahui harus lari kemana saat nestapa, dan karya-karya manusia yang membutuhkan blamming atas sesuatu yang menimpa dirinya.

Kedua sisi yang berseberangan tersebut, silahkan disebutkan. Maka rasanya saya pernah berada dalamnya. Dan pada akhirnya menyadari bahwa keduanya adalah naif -yang perlu saya garis bawahi bahwa ini adalah pendapat pribadi-

Naif sebab pada satu masa pada diri saya, saya merasa tidak memiliki kuasa atas apa yang terjadi pada hidup saya. Semua-semua hal, akan saya limpahkan pada takdir, takdir, dan takdir. Yang sama sekali tidak menimbulkan perkembangan dalam diri saya. Terkurung dalam sangkar “segala sesuatu telah diatur” dengan makanan pokok adalah “takdir Tuhan.”

Pada sisi seberang, dilain waktu saya merasa terlalu naif dan sombong atas kuasa [tidak seberapa] yang saya miliki. Merasa bahwa segala sesuatu yang saya capai saat ini adalah andil saya, saya dan saya. Dan sesungguhnya saya lupa pada tangan yang entah orang bilang mother nature, entah ia sebut Tuhan, atau sebuah entitas yang memiliki nama. Kekuatan magis yang dengan rendah hati, saya akui keberadaannya. Serta secara tidak langsung tidak mungkin saya menafikkan kekuatan tersebut.

Maka kemudian, saya berusaha berjalan ditengah. Obrolan dengan seorang teman di awal Januari ikut memberikan saya pengayaan. Atas apapun kuasa yang saya miliki, tetap akan ada yang mengatur skenarionya, Tuhan misalnya. Dan bahwa mengembalikan semua kepada takdir adalah baik-baik saja, selagi tidak pasrah-pasrah saja.

Saya menyadari banyak orang mengolok-ngolok orang relijius karena terlalu banyak membusa soal takdir dan takdir. Padahal bagi saya, letak kesahalan bukan berserah pada takdir melainkan menjadi pasrah pada takdir. Sebab itu, orang yang terlalu berpasrah pada kuasa-Nya disebalkan oleh banyak orang.

Pada kondisi yang berseberangan, orang yang terlalu mengagungkan kuasa manusia juga dapat salah dan jadi pribadi menyebalkan. Kerap kali memegang paham dan pandangan yang duduk perkaranya hanya persoalan ego semata. Yang kalau dipikir-pikir logisnya, kita ini hanya satu entitas kecil di dunia ini. Memupuk ego dengan berpusat hanya pada persoalan kita, kita, kita dan kita adalah bentuk naif. Siapalah kita dan pada akhirnya akan menjadi apa kita setelah berpulang dan tidak bernyawa?

Maka saya putuskan tidak usahlah saya menjadi orang yang begitu menyerahkan semuanya pada Tuhan karena toh saya masih punya kuasa atas tindak tanduk saya. Serta tidaklah perlu saya menjadi pribadi yang terlalu menuhankan persoalan saya, karena pada akhirnya ada Dzat Maha Kuasa yang juga berperan mengatur apa yang terjadi.

Pandangan tersebut mendatangkan simpulan bahwa optimisme pada diri saya perlu saya pupuk dan impian saya perlu saya perjuangkan. Dengan catatan bahwa saya tidak ada yang tahu pasti bahwa apakah ini akan berhasil atau gagal. Dan ketika pada akhirnya gagal, saya akan selalu percaya bahwa Tuhan telah memilihkan jalan untuk saya, maka langkah saya untuk setidaknya mencoba sudahlah terlaksana dan mari berlanjut ke langkah selanjutnya [yang barangkali berhasil].

-Budi

--

--