Untuk Apa Memiliki Sahabat?

Maka bertanyalah saya pada diri sendiri. Siapa sahabat saya, mengapa saya sebut dia, mengapa bukan yang lain, untuk apa ia saya gelari sahabat dan bagaimana pabila tiadalah nama yang saya sebut?

Riski Budi Pratiwi
4 min readOct 10, 2020
Dalam gambar: Saya dan sekian banyak pribadi baik yang hadir dalam hidup saya (dokumentasi pribadi penulis)

Sebagai permulaan, coba baca tulisan oleh Jeddiah Jenkins yang teramat saya sukai ini.

“I was asked last week, who is your best friend? I don’t know-I answered. I don’t use language like that anymore. It doesn’t fit. I have friends that hold the keys to different doors of my personality. Some open my heart. Some open my laughter. Some my mischief. Some my sin. Some my civic urgency. Some my history. Some my rawest confusion and vulnerability. Some friends, who may not be the closest one, have the most important key for me in a moment of my life. Some, who may be as close as my own skin, may not have what I need today. Its okay if our spouses or partners don’t have every key. How could they? It isn’t a failure it they don’t open every single door of who you are. The million-room-mansion of identity cannot overlap perfectly with anyone.

But I will say, my closest friends have a key ring on their hip with lots of keys, jingling”

Cantik, bukan?

Dari tulisan Jeddiah Jenkins tersebut, saya membenarkannya terus dalam hati. Dahulu, bagi saya ketika ditanya -siapa sahabatmu?- dan kemudian saya bisa menyebutkan satu dua nama, rasanya bahagia sekali memiliki pribadi yang bisa saya anggap sahabat. Pun sebaliknya, saat ada seorang yang menyebut nama saya sebagai sosok yang dianggapnya sahabat, ada perasaan buncah bahagia dalam diri saya, bahwa saya dimaknai sebagai seorang yang berarti dalam hidupnya.

Namun belakangan, pertanyaan-pertanyaan bernada sejenis justru membingungkan saya. Ini bukan karena tiada lagi orang yang berarti dalam hidup saya, atau bahwa saya tidak memiliki kawan sama sekali. Justru yang sebaliknya, ada terlalu banyak orang yang hadir dalam hidup saya dan memberi kesan yang teramat baik. Tapi ketika disebutkan pun, list itu hampir tidak pernah usai, atau nama-nama baru terus muncul meramaikan. Barulah kemudian saya menyadari, relevansi kata sahabat hampir sudah tidak cocok disematkan ke siapa saja yang hadir dalam hidup saya.

Beberapa orang yang dahulu saya sebut, high school best friends pun nyatanya tidak lagi banyak ikut campur dalam hidup saya. Lalu apa lantas kehadiran mereka tiadalah artinya? Saya rasa tidak.

Memori tentang mereka, tetap ada. Juga tentang bagaimana saya bertumbuh sampai jadi pribadi macam sekarang pun adalah bagian dari perjalanan bersama mereka. Pada beberapa kesempatan pun, sesekali kami saling menghubungi, bertukar kabar, bertukar cerita barang sebentar. Dan memang mereka tidaklah lagi menjadi bagian terdekat dalam hidup saya saat ini. Lantas? Apakah hal yang demikian berarti buruk? Saya rasa tidak. Mereka jugalah bagian penting dalam hidup saya yang tidak bisa saya eliminasikan.

Dan lagi, ada beberapa pribadi yang saat ini sedang harmonisnya dengan saya. Baru tahun-tahun belakangan ini kami saling mengenal. Tiadalah mereka di momen, dimana saya tumbuh saat masa sekolah menengah. Tapi tetap mereka menjadi penting buat saya.

Maka percayalah saya, bahwa setiap pribadi yang disinggahkan Tuhan di hidup saya memiliki kunci-nya masing-masing. Beberapa hadir hanya menjadi teman tawa, yang lalu hilang saat saya nestapa, beberapa hadir untuk saya tempati bahunya saat menangis, beberapa hadir dengan cerita jenaka mengocok perut, beberapa hadir dengan nasehat nan bijaksana. Beberapa hadir merayakan suka cita saya, beberapa hadir menemani saya dalam momen terberat saya. Dan sungguh sulit memilih satu di antaranya.

Dalam hidup, setiap pribadi akan selalu datang dan pergi. Bahkan yang dahulu telah kita anggap sebagai sahabat. Ia bisa saja tidak selalu dalam barisan terdepan, yang terkadang malah menjadi orang yang paling nihil tahu tentang kabar kita akhir-akhir ini. Dan…. Hal yang demikian tidaklah buruk.

Bahkan, yang mengetahui paling sedikit, menghabiskan waktu paling sedikit, mengukir cerita paling sedikit tidak lantas menjadikan pribadi tidak pantas disebut sahabat. Sah-sah saja jika ia yang disebut sebagai-nya.

Saya lalu menjadi sadar, bahwa tidaklah perlu saya berfikir keras menjawab pertanyaan soal siapa sahabat-mu sebenarnya. Karena untuk apa repot memilih satu pribadi dari sekian banyak, atau menuliskan semua nama yang hanya akan menghabiskan tinta dan terlebih saya kadang pelupa soal nama. Kata dan predikat sahabat tidak lagi menjadi tolak ukur bahwa saya dan seorang adalah dua yang teramat dekat. Karena nyatanya, beberapa yang sudah datang jauh-jauh dan yang baru kenal kemarin sore terkadang sama-sama meninggalkan cerita dan keakraban yang sangat berharga.

Begitupun sebaliknya, saat saya menjadi bagian penting dari seorang, saya bisa dengan waras mengingatkan diri saya bahwa tidak harus saya miliki semua kunci soal dia. Ada kalanya, ia menemukan bahagia tanpa saya, atau berbagi rahasia paling dalam bukan pada saya. Saya tidak perlu memaksakan diri menjadi solusi atas semua perkara soalnya.

Pada akhirnya, saya mungkin tidak punya sahabat. Untuk apa memiliki sahabat jikalau yang saya miliki adalah segelintir pribadi dengan peran yang beragam dalam hidup saya, memegang kuncinya masing-masing.

Kamu? Siapa sesungguhnya sahabatmu?

Catatan penulis: Tulisan bernarasi sama pernah saya publikasikan sebelumnya dalam laman Instagram saya, yang kemudian saya tulis ulang dengan sedikit ubahan disini.

--

--